Rabu, 13 September 2017

Sejarah Konflik Umat Islam, studi kasus: Perang Salib



SEJARAH KONFLIK UMAT ISLAM
STUDI KASUS: PERANG SALIB

Introduction
               Peristiwa perang salib telah menanam suatu benih kebencian dan permusuhan orang-orang kristen terhadap orang-orang islam, yang kemudian terjadilah perang yang dinamakan dengan perang salib. Perang ini dinamakan perang salib dikarenakan pada waktu itu ummat kristen menggunakan simbol salibnya pada bahu, lencana dan panji-panji mereka untuk pemersatu dalam menunjukan bahwa peperangan yang mereka lakukan adalah perang suci.[1]  kebencian yang ditanam oleh orang kristen bertambah setelah dinasti seljuk dapat merebut baitul maqdis pada tahun 471 H dari kekuasaan dinasti fathimiyyaah. Perang salib ini merupakan perang yang terlama dalam sejarah manusia yakninya berlangsung kurang lebih sekitar 2 abad lamanya (1096-1291 M) meskipun perang salib ini telah berakhir namun masih terus membekas dalam benak pihak kristen barat khususnya masyarakat Eropa.[2]

Penyebab konflik
Semenjak dinasti saljuk mengambil alih jerusalem dari tangan dinasti fathimiyyah pada tahun 1077M, orang kristen merasa tidak bebas lagi dalam melaksanakan ibadahnya yang disebabkan karena para penguasa saljuk menetapkan sebuah peraturan-peraturan tertentu yang dianggap mempersulit bagi mereka. Selain itu kekalahan bizantium di manzikart(armenia) pada tahun 1071 M dan jatuhnya asia kecil ke bawah kekuasaan saljuk telah mendorong kaisar konstantinopel, alexius I commnenus, pada tahun 1095 M meminta bantuan kepada paus urbanus II. Dan paus mau memberikan bantuannya kepada bizantium karena adanya perjanjian dari kaisar alexius untuk tunduk di bawah kekuasaan paus di roma dan adanya harapan untuk dapat mempersatukan gereja roma dan yunani.[3]
Pada saat itu juga keadaan kaum muslim secara politik sedang kacau serta pada saat itu juga dunia islam terpecah dalam 3 kekuasaan yakninya, dinasti fathimiyyah di mesir, dinasti abbasiyah di baghdad, dan dinasti ummayah di spanyol( cordova). Situasi tersebut semakin parrah ketika dinasti saljuk di asia kecil sedang mengalami perpecahan, dinasti fatthimuyah di mesir dalam keadaan runtuh, dan kekuasaan islam di spanyol semakin goyah, maka dari itulah kaum kristen mendapatkan dorongan untuk merebut kembali daerah-daerah yang telah dikuasai oleh kaum islam tersebut.[4]
Periodesasi konflik

a.    Masa periode pertama (periode  penaklukan)  
               Gerakan merupakan ekspedisi militer yang sangat terorganisir dan tersusun dengan rapi. Sehingga, mereka bisa berhasil menaklukkan dan menduduki kota suci Palestina (Yerusalem) pada tanggal 7 Juli 1099. Inilah ekspedisi yang menghasilkan kemenangan besar. Selain itu, kekejaman yang dipimpin oleh pasukan  Godfrey ini melakukan pembantaian besar-besaran terhadap umat Islam tanpa membedakan laki-laki dan perempuan, baik anak-anak maupun orang tua. Banjir darah dan pembantaian terhadap kaum muslim mengikuti kemenangan mereka di Kota Suci itu. Taktik para tentara Perang Salib ialah tidak membawa tawanan serta sebab berhasilnya perang salib pertama ini adalah ketidaktahuan para umat baik itu muslim, kristen dan yahudi di yerusalem bahwa mereka datang untuk menyerang. Karena itulah para muslim tidak menyiagakan pasukannya dan memang yang pada waktu itu Yerusalem bukan daerah kekuasaan atau jajahan kekaisaran muslim, serta mereka membantai para penduduk dan pedagang muslim yang sudah menyerah, inilah yang menyebabkan kebencian umat Islam. Seorang pengamat yang merestui tindakan tersebut menulis bahwa para prajurit menunggang kuda mereka dalam darah yang tingginya mencapai tali kekang kuda, dan memang kaum Kristiani Eropa cenderung menutupi kejadian ini. Sebelum mereka menduduki Baitulmakdis, pasukan ini terlebih dahulu merebut Anatalia Selatan, Tarsus Artiolia, Allepo, dan Ar-Ruba, Tripoli, Syam dan Arce.[5]
b.   Masa periode kedua (reaksi umat Islam)
               Pada masa ini, beberapa wilayah kekuasan Islam jatuh ke tangan tentara Salib, sehingga menyebabkan bangkitnya kembali semangat kaum muslimin untuk menghimpun kekuatan besar yang diprioritaskan khusus menghadapi mereka. Di bawah komando sang panglima Imanduddin Zangi, yang merupakan Gubernur Mosul, kaum musilimin serempak menyatukan langkah besar bergerak maju untuk membendung serangan dari pasukan Salib. Dan hasilnya, pada tahun 1144 M atas jerih payah dan semangat juang yang tinggi, tentara muslim berhasil merebut kembali tiga wilayah penting, yaitu Allepo, Hamimah dan Edessa. Hal ini merupakan salah satu kemengan besar tentara muslim.[6]
               Akan tetapi, setelah Imaduddin Zangi (Imaduddin Zanki) wafat pada tahun 1146 M, posisinya digantikan oleh putranya, Nuruddin Zangi. Ia meneruskan cita-cita ayahnya yang ingin membebaskan negara-negara Islam di timur  dari cengkraman kaum Salib. Kota-kota yang berhasil dibebaskan masa putranya ini, antara lain Damaskus, Antiolia dan Mesir pada tahun 1149 M, dan pada tahun 1151 M, kemenangan yang sangat mengagumkan seluruh wilayah Edessa dapat direbut kembali dan dikuasai oleh tentara Islam[7]
               Kejatuhan wilayah Edessa ini, menyebabkan kaum Kristiani mengobarkan Perang Salib kedua yang sesungguhnya. Kali ini, Paus Eugenius III menyerukan perang suci yang disambut sangat baik oleh Raja Perancis bernama Louis VII dan Raja Jerman bernama Condrad II. Kedua raja ini memimpin pasukan tentara Salib dengan rencana untuk merebut wilayah Kristen di Syiria. Akan tetapi, hal demikian sangatlah mudah bagi Nuruddin Zangi, kedua pasukan ini bisa dihalau dan mereka melarikan diri pulang ke negerinya.         
               Pasca wafatnya Nuruddin Zangi pada tahun 1174 M, panglima perang selanjutnya berada dalam kekuasaan Shalahuddin Al-Ayyubi (saladin) yang berhasil mendidrikan Dinasti Ayyubiyah di Mesir pada tahun 1175 M serta berhasil membebaskan Baitulmakdis pada tanggal 2 Oktober 1187. Bahkan, pada tahun 1187 M, peperangan yang di pimpin oleh panglima Shalahuddin Al-Ayyubi ini mengalami kemenangan besar dengan direbutnya kembali wilayah Yerussalem yang sebelumnya dikuasai oleh tentara Kristiani yang mendirikan kerajaan latin selama 88 tahun. Keberhasilan umat Islam ini, sangat menyedihkan dan memukul perasaan tentara Salib. Akhirnya mereka kembali membangkitkan kaumnya untuk mengirim ekspedisi militer besar-besaran dan yang lebih kuat. Mereka menyusun rencana sebaik mungkin untuk menyerang sebagai balasannya. Ekspedisi ini diluncurkan pada tahun 1189 M yang dipimpin oleh raja besar Eropa, seperti Frederick I ( Frederick Barbarossa, Kaisar Jerman), Richard I (The Lion Hearted, Raja Inggris), serta Philip II ( Philip Agustus, Raja Perancis). Ekspedisi ini dilakukan pada tahun 1189 M.[8]
               Ekspedisi perang Salib ini dibagi beberapa divisi, sebagian menempuh jalur jalan darat dan sebagian lagi menempuh jalur laut. Frederick yang memimpin divisi jalur darat ini tewas ketika menyerangi sungai Armenia, dekat kota Ruba (Edessa). Sebagian tentaranya kembali, kecuali beberapa orang yang masih hidup melanjutkan perjalannya. Dua divisi lainnya yang menempuh jalur laut bertemu di Sisilia. Mereka berada di Sisilia hingga musim dingin berlalu. Richard menuju Ciprus dan mendudukinya di sana. Sedangkan Philip langsung ke Arce, dan pasukannya berhadapan dengan pasukan Saladin, sehingga terjadi pertempuran sengit. Namun, dengan pasukan Saladin memilih mundur dan mengambil langkah untuk mempertahankan Mesir. Dalam keadaan demikian, pihak Richard dan pihak Saladin sepakat untuk melakukan genjatan senjata dan membuat perjanjian. Perjanjian ini disebut dengan Shulh al-Ramlah. Inti dari perjanjian damai itu adalah bahwa umat Kristen yang akan berziarah ke Baitulmakdis akan terjamin keamanannya. Begitu juga dengan daerah pesisir utara, Arce dan Jaita berada di bawah kekuasaan tentara Salib.[9]
c.    Masa periode ketiga (perang saudara kecil-kecilan/periode kehancuran)
               Pada periode ini, peperangan disebabkan oleh ambisi politik untuk memperoleh kekuasaan dari sesuatu yang bersifat materialisti dari pada motivasi agama. Dalam periode ini, muncul pahlawan wanita dari kalangan kaum muslimin yang terkenal gagah berani yaitu Syajar Ad-Durr. Ia beerhasil menghancurkan pasukan Raja Louis IX dari Perancis sekaligus menangkap raja tersebut. Pada tahun 1219 M, meleteus kembali peperangan, pada waktu itu tentara Kristen berada di bawah kekuasaan Raja Jerman, Frederick II, mereka berusaha merebut Mesir terlebih dahulu sebelum merebut ke  wilayah Palestina, dengan harapan mereka mendapatkan bantuan dari orang-orang Kristen Qibthi.
               Dalam serangan tersebut, mereka berhasil menduduki Dimyat, Raja Mesir dari Dinasti Ayyubiyah waktu itu, al-Malik al-Kamil, membuat penjanjian dengan Raja Frederick. Isinya antara lain Frederick bersedia melepaskan Dimyat, sementara al-Malik, al-Kamil harus bersedia melepaskan Palestina. Raja Frederick menjamin keamanan kaum muslimin di sana, dan begitu pun Frederick tidak diperbolehkan mengirim bantuan kepada Kristen yang berada di wilayah Syria.
               Dalam perkembangan berikutnya, wilayah Palestina yang tadinya diserahkan kepada Raja Frederick kini dapat direbut kembali oleh kaum muslimin pada tahun 1247 M, yakni pada masa pemerintahan al-Malik al-Shalih, penguasa Mesir pengganti al-Malik, al-Kamil. Ketika Mesir dikuasai oleh dinasti Mamalik, yang menggantikan posisi Daulah Ayyubiyyah, pimpinan perang dipegang oleh Baybars dan Qalawun. Pada masa merekalah Akka dapat direbut kembali oleh kaum muslimin pada tahun 1291 M. Demikianlah Perang Salib yang berkobar di Timur. Perang ini tidak berhenti di Barat, termasuk di wilayah Spanyol, sampai umat Islam habis terkikis dan terusir dari sana[10].
Conclusion
               Perang salib merupakan perang yang dimulai oleh umat kristen barat dalam rangka perebutan kekuasaan wilayah atau ekspansi. Resolusi konflik yang harus dilakukan umat islam pada saat itupun tidak lain adalah perang, karena peperangan memang sudah dimulai oleh bangsa barat saat itu, lantas peperangan tersebut telah menanamkan benih kebencian dimasa itu antar umat beragama meski dari kedua belah pihak mendapat beberapa kekuasaan wilayah, namun umat Islam pada saat itu mengalami kemunduran yang cukup besar dan kerugian yang tinggi. Setidaknya umat islam pada saat itu dapat melawan dan merebut kembali beberapa wilayah yang telah dikuasai oleh umat kristen. Kebenaran sejarah ini pada awalnya tidak terbuka secara detail karena banyak fakta yang disembunyikan namun saat ini perkembangan teknologi membuat konflik ini lebih detail terekspos sehingga dapat menjadi pelajaran bagi kita umat muslim untuk melihat resolusi konflik umat islam saat itu terhadap perang yang cukup mengerikan.
Daftar pustaka

Badri Yatim, 2008. Sejarah Peradapan Islam (Dirasah Islamiah II). Jakarta: PT Raja Grafinda Persada.

Dedi Supriyadi, 2008.  Sejarah Peradaban Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia.

Dr.Ajat Sudrajat, “perang salib dan kebangkitan kembali ekonomi eropa”, leutika, 2009, yogyakarta

Hafizh Dasuki, dkk “perang salib”, ensiklopesi islam, jilid 4 ( jakarta, pt ikhtiar baru van hoeve, 1994)

Maslani dan Ratu Suntiah, 2010.  Sejarah Peradapan Islam. Bandung: CV. Insan Mandiri.

Philip K, hitti, history of the arab, serambi,


[1] Badri Yatim, 2008. Sejarah Peradapan Islam (Dirasah Islamiah II). Jakarta: PT Raja Grafinda Persada. hlm. 76-77
[2] Maslani dan Ratu Suntiah, 2010.  Sejarah Peradapan Islam. Bandung: CV. Insan Mandiri. hlm. 133
[3] Dr.Ajat Sudrajat, “perang salib dan kebangkitan kembali ekonomi eropa”, leutika, 2009, yogyakarta, hlm 51-52

[4] Hafizh Dasuki, dkk “perang salib”, ensiklopesi islam, jilid 4 ( jakarta, pt ikhtiar baru van hoeve, 1994) hlm 240.
[5] Philip K, hitti, history of the arab, serambi, hlm 812
[6] Badri Yatim, 2008. Sejarah Peradapan Islam (Dirasah Islamiah II). Jakarta: PT Raja Grafinda Persada. hlm. 78
[7] Maslani dan Ratu Suntiah, 2010.  Sejarah Peradapan Islam. Bandung: CV. Insan Mandiri. hlm. 136.
[8] Dedi Supriyadi, 2008.  Sejarah Peradaban Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia, hlm. 171-182
[9] Badri Yatim, 2008. Sejarah Peradapan Islam (Dirasah Islamiah II). Jakarta: PT Raja Grafinda Persada. hlm. 78

[10] Badri Yatim, 2008. Sejarah Peradapan Islam (Dirasah Islamiah II). Jakarta: PT Raja Grafinda Persada. hlm. 79

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dampak Keputusan ICJ (International Court of Justice) Terhadap Hubungan Indonesia Dan Malaysia

            Keputusan ICJ (International Court of Justice) atas kepemilikan pulau Sipadan dan Ligitan berdampak pada hubungan kedua N...