SEJARAH KONFLIK UMAT ISLAM
STUDI KASUS: PERANG SALIB
Introduction
Peristiwa perang salib telah
menanam suatu benih kebencian dan permusuhan orang-orang kristen terhadap
orang-orang islam, yang kemudian terjadilah perang yang dinamakan dengan perang
salib. Perang ini dinamakan perang salib dikarenakan pada waktu itu ummat
kristen menggunakan simbol salibnya pada bahu, lencana dan panji-panji mereka
untuk pemersatu dalam menunjukan bahwa peperangan yang mereka lakukan adalah
perang suci.[1] kebencian yang ditanam oleh orang kristen
bertambah setelah dinasti seljuk dapat merebut baitul maqdis pada tahun 471 H
dari kekuasaan dinasti fathimiyyaah. Perang salib ini merupakan perang yang
terlama dalam sejarah manusia yakninya berlangsung kurang lebih sekitar 2 abad
lamanya (1096-1291 M) meskipun perang salib ini telah berakhir namun masih
terus membekas dalam benak pihak kristen barat khususnya masyarakat Eropa.[2]
Penyebab konflik
Semenjak dinasti saljuk mengambil alih jerusalem dari
tangan dinasti fathimiyyah pada tahun 1077M, orang kristen merasa tidak bebas
lagi dalam melaksanakan ibadahnya yang disebabkan karena para penguasa saljuk
menetapkan sebuah peraturan-peraturan tertentu yang dianggap mempersulit bagi
mereka. Selain itu kekalahan bizantium di manzikart(armenia) pada tahun 1071 M
dan jatuhnya asia kecil ke bawah kekuasaan saljuk telah mendorong kaisar
konstantinopel, alexius I commnenus, pada tahun 1095 M meminta bantuan kepada
paus urbanus II. Dan paus mau memberikan bantuannya kepada bizantium karena
adanya perjanjian dari kaisar alexius untuk tunduk di bawah kekuasaan paus di
roma dan adanya harapan untuk dapat mempersatukan gereja roma dan yunani.[3]
Pada saat itu juga keadaan kaum muslim secara politik
sedang kacau serta pada saat itu juga dunia islam terpecah dalam 3 kekuasaan
yakninya, dinasti fathimiyyah di mesir, dinasti abbasiyah di baghdad, dan
dinasti ummayah di spanyol( cordova). Situasi tersebut semakin parrah ketika
dinasti saljuk di asia kecil sedang mengalami perpecahan, dinasti fatthimuyah
di mesir dalam keadaan runtuh, dan kekuasaan islam di spanyol semakin goyah,
maka dari itulah kaum kristen mendapatkan dorongan untuk merebut kembali
daerah-daerah yang telah dikuasai oleh kaum islam tersebut.[4]
Periodesasi
konflik
a.
Masa periode pertama
(periode penaklukan)
Gerakan
merupakan ekspedisi militer yang sangat terorganisir dan tersusun dengan rapi.
Sehingga, mereka bisa berhasil menaklukkan dan menduduki kota suci Palestina
(Yerusalem) pada tanggal 7 Juli 1099. Inilah ekspedisi yang menghasilkan
kemenangan besar. Selain itu, kekejaman yang dipimpin oleh pasukan
Godfrey ini melakukan pembantaian besar-besaran terhadap umat Islam tanpa
membedakan laki-laki dan perempuan, baik anak-anak maupun orang tua. Banjir
darah dan pembantaian terhadap kaum muslim mengikuti kemenangan mereka di Kota
Suci itu. Taktik para tentara Perang Salib ialah tidak membawa tawanan serta
sebab berhasilnya perang salib pertama ini adalah ketidaktahuan para umat baik
itu muslim, kristen dan yahudi di yerusalem bahwa mereka datang untuk
menyerang. Karena itulah para muslim tidak menyiagakan pasukannya dan memang
yang pada waktu itu Yerusalem bukan daerah kekuasaan atau jajahan kekaisaran
muslim, serta mereka membantai para penduduk dan
pedagang muslim yang sudah menyerah, inilah yang menyebabkan kebencian umat
Islam. Seorang pengamat yang merestui tindakan tersebut menulis bahwa para
prajurit menunggang kuda mereka dalam darah yang tingginya mencapai tali kekang
kuda, dan memang kaum Kristiani Eropa cenderung menutupi kejadian ini. Sebelum
mereka menduduki Baitulmakdis, pasukan ini terlebih dahulu merebut Anatalia
Selatan, Tarsus Artiolia, Allepo, dan Ar-Ruba, Tripoli, Syam dan Arce.[5]
b.
Masa periode kedua
(reaksi umat Islam)
Pada
masa ini, beberapa wilayah
kekuasan Islam jatuh ke tangan tentara Salib, sehingga menyebabkan bangkitnya
kembali semangat kaum muslimin untuk
menghimpun kekuatan besar yang diprioritaskan khusus menghadapi mereka. Di
bawah komando sang panglima Imanduddin Zangi, yang merupakan Gubernur Mosul,
kaum musilimin serempak menyatukan langkah besar bergerak maju untuk membendung
serangan dari pasukan Salib. Dan hasilnya,
pada tahun 1144 M atas jerih payah dan semangat juang yang tinggi, tentara
muslim berhasil merebut kembali tiga wilayah penting, yaitu Allepo, Hamimah dan
Edessa. Hal ini merupakan salah satu kemengan besar tentara muslim.[6]
Akan
tetapi, setelah Imaduddin Zangi (Imaduddin Zanki) wafat pada tahun 1146
M, posisinya digantikan oleh putranya, Nuruddin Zangi. Ia meneruskan cita-cita
ayahnya yang ingin membebaskan negara-negara Islam di timur dari
cengkraman kaum Salib. Kota-kota yang berhasil dibebaskan masa putranya ini,
antara lain Damaskus, Antiolia dan Mesir pada tahun 1149 M, dan pada tahun 1151
M, kemenangan yang sangat mengagumkan seluruh wilayah Edessa dapat direbut
kembali dan dikuasai oleh tentara Islam[7]
Kejatuhan
wilayah Edessa ini, menyebabkan kaum Kristiani mengobarkan Perang Salib kedua
yang sesungguhnya.
Kali ini, Paus Eugenius III menyerukan perang suci yang disambut sangat baik
oleh Raja Perancis bernama Louis VII dan Raja Jerman bernama Condrad II. Kedua
raja ini memimpin pasukan tentara Salib dengan rencana untuk merebut wilayah
Kristen di Syiria. Akan tetapi, hal demikian sangatlah mudah bagi Nuruddin
Zangi, kedua pasukan ini bisa dihalau dan mereka melarikan diri pulang ke
negerinya.
Pasca
wafatnya Nuruddin Zangi pada tahun 1174 M, panglima perang selanjutnya berada
dalam kekuasaan Shalahuddin Al-Ayyubi (saladin) yang berhasil mendidrikan
Dinasti Ayyubiyah di Mesir pada tahun 1175 M serta berhasil membebaskan
Baitulmakdis pada tanggal 2 Oktober 1187. Bahkan, pada tahun 1187 M, peperangan
yang di pimpin oleh panglima Shalahuddin Al-Ayyubi ini mengalami kemenangan
besar dengan direbutnya kembali wilayah Yerussalem yang sebelumnya dikuasai
oleh tentara Kristiani yang mendirikan kerajaan latin selama 88 tahun.
Keberhasilan umat Islam ini, sangat menyedihkan dan memukul perasaan tentara
Salib. Akhirnya mereka kembali membangkitkan kaumnya untuk mengirim ekspedisi
militer besar-besaran dan yang lebih kuat. Mereka menyusun rencana sebaik
mungkin untuk menyerang sebagai balasannya. Ekspedisi ini diluncurkan pada
tahun 1189 M yang dipimpin oleh raja besar Eropa, seperti Frederick I ( Frederick
Barbarossa, Kaisar Jerman), Richard I (The Lion Hearted, Raja Inggris),
serta Philip II ( Philip Agustus, Raja Perancis). Ekspedisi ini dilakukan pada tahun 1189
M.[8]
Ekspedisi
perang Salib ini dibagi beberapa divisi, sebagian menempuh jalur jalan darat
dan sebagian lagi menempuh jalur laut. Frederick yang memimpin divisi jalur
darat ini tewas ketika menyerangi sungai Armenia, dekat kota Ruba (Edessa).
Sebagian tentaranya kembali, kecuali beberapa orang yang masih hidup
melanjutkan perjalannya. Dua divisi lainnya yang menempuh jalur laut bertemu di
Sisilia. Mereka berada di Sisilia hingga musim dingin berlalu. Richard menuju
Ciprus dan mendudukinya di sana. Sedangkan Philip langsung ke Arce, dan
pasukannya berhadapan dengan pasukan Saladin, sehingga terjadi pertempuran
sengit. Namun, dengan pasukan Saladin memilih mundur dan mengambil langkah
untuk mempertahankan Mesir. Dalam keadaan demikian, pihak Richard dan pihak
Saladin sepakat untuk melakukan genjatan senjata dan membuat perjanjian.
Perjanjian ini disebut dengan Shulh al-Ramlah. Inti dari perjanjian
damai itu adalah bahwa umat Kristen yang akan berziarah ke Baitulmakdis akan
terjamin keamanannya. Begitu juga dengan daerah pesisir utara, Arce dan Jaita
berada di bawah kekuasaan tentara Salib.[9]
c.
Masa periode ketiga
(perang saudara kecil-kecilan/periode kehancuran)
Pada
periode ini, peperangan disebabkan oleh ambisi politik untuk memperoleh
kekuasaan dari sesuatu yang bersifat materialisti dari pada motivasi agama.
Dalam periode ini, muncul pahlawan wanita dari kalangan kaum muslimin yang
terkenal gagah berani yaitu Syajar Ad-Durr. Ia beerhasil menghancurkan pasukan
Raja Louis IX dari Perancis sekaligus menangkap raja tersebut. Pada tahun 1219
M, meleteus kembali peperangan, pada waktu itu tentara Kristen berada di bawah
kekuasaan Raja Jerman,
Frederick II,
mereka berusaha merebut Mesir
terlebih dahulu sebelum merebut ke wilayah Palestina,
dengan harapan mereka mendapatkan bantuan dari orang-orang Kristen Qibthi.
Dalam
serangan tersebut, mereka berhasil menduduki Dimyat,
Raja Mesir
dari Dinasti Ayyubiyah
waktu itu, al-Malik al-Kamil,
membuat penjanjian dengan Raja Frederick. Isinya antara lain Frederick bersedia
melepaskan Dimyat, sementara al-Malik,
al-Kamil harus bersedia melepaskan Palestina. Raja Frederick menjamin keamanan
kaum muslimin
di sana, dan begitu pun Frederick tidak diperbolehkan mengirim bantuan kepada Kristen
yang berada di wilayah Syria.
Dalam
perkembangan berikutnya, wilayah Palestina yang tadinya diserahkan kepada Raja
Frederick kini dapat direbut kembali oleh kaum muslimin pada tahun 1247 M,
yakni pada masa pemerintahan al-Malik al-Shalih,
penguasa Mesir pengganti al-Malik,
al-Kamil. Ketika Mesir dikuasai oleh dinasti Mamalik,
yang menggantikan posisi Daulah Ayyubiyyah,
pimpinan perang dipegang oleh Baybars
dan Qalawun.
Pada masa merekalah Akka
dapat direbut kembali oleh kaum muslimin
pada tahun 1291 M. Demikianlah Perang Salib yang berkobar di Timur. Perang ini
tidak berhenti di Barat, termasuk di wilayah Spanyol,
sampai umat Islam
habis terkikis dan terusir dari sana[10].
Conclusion
Perang salib merupakan perang yang dimulai oleh umat
kristen barat dalam rangka perebutan kekuasaan wilayah atau ekspansi. Resolusi
konflik yang harus dilakukan umat islam pada saat itupun tidak lain adalah
perang, karena peperangan memang sudah dimulai oleh bangsa barat saat itu,
lantas peperangan tersebut telah menanamkan benih kebencian dimasa itu antar
umat beragama meski dari kedua belah pihak mendapat beberapa kekuasaan wilayah,
namun umat Islam pada saat itu mengalami kemunduran yang cukup besar dan
kerugian yang tinggi. Setidaknya umat islam pada saat itu dapat melawan dan
merebut kembali beberapa wilayah yang telah dikuasai oleh umat kristen.
Kebenaran sejarah ini pada awalnya tidak terbuka secara detail karena banyak
fakta yang disembunyikan namun saat ini perkembangan teknologi membuat konflik
ini lebih detail terekspos sehingga dapat menjadi pelajaran bagi kita umat
muslim untuk melihat resolusi konflik umat islam saat itu terhadap perang yang
cukup mengerikan.
Daftar pustaka
Badri Yatim,
2008. Sejarah Peradapan Islam (Dirasah Islamiah II). Jakarta: PT Raja
Grafinda Persada.
Dedi
Supriyadi, 2008. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: CV. Pustaka
Setia.
Dr.Ajat
Sudrajat, “perang salib dan kebangkitan kembali ekonomi eropa”, leutika, 2009,
yogyakarta
Hafizh
Dasuki, dkk “perang salib”, ensiklopesi islam, jilid 4 ( jakarta, pt ikhtiar
baru van hoeve, 1994)
Maslani dan
Ratu Suntiah, 2010. “Sejarah Peradapan
Islam”. Bandung: CV. Insan Mandiri.
Philip
K, hitti, history of the arab, serambi,
[1] Badri Yatim, 2008. “Sejarah Peradapan Islam (Dirasah Islamiah II)”. Jakarta: PT Raja
Grafinda Persada. hlm. 76-77
[3] Dr.Ajat Sudrajat, “perang
salib dan kebangkitan kembali ekonomi eropa”, leutika, 2009, yogyakarta, hlm 51-52
[4] Hafizh Dasuki, dkk
“perang salib”, ensiklopesi islam, jilid 4 ( jakarta, pt ikhtiar baru van
hoeve, 1994) hlm 240.
[6] Badri Yatim, 2008. Sejarah Peradapan Islam (Dirasah Islamiah II).
Jakarta: PT Raja Grafinda Persada. hlm. 78
[9] Badri Yatim, 2008. Sejarah Peradapan Islam (Dirasah Islamiah II).
Jakarta: PT Raja Grafinda Persada. hlm. 78
[10] Badri Yatim, 2008. Sejarah Peradapan Islam (Dirasah Islamiah II).
Jakarta: PT Raja Grafinda Persada. hlm. 79
Tidak ada komentar:
Posting Komentar