Keputusan ICJ (International Court of Justice) atas
kepemilikan pulau Sipadan dan Ligitan berdampak pada hubungan kedua Negara
dalam persoalan batas Negara.[1]
Dampak keputusan tersebut memiliki sisi positif dan negative. Resolusi konflik
yang dilakukan ICJ untuk sengketa pulau Sipadan dan Ligitan dapat dikatakan
berhasil namun dalam resolusi tersebut terdapat kekurangan yang membuat
hubungan Indonesia dan Malaysia menjadi tegang dikonflik yang bersangkutan. Secara
tunggal dalam melihat sengketa wilayah Sipadan Ligitan semata maka dapat
dikatakan penyelesaian dilakukan dengan damai karena kedua Negara yang
bersengketa memang menginginkan keadaan damai. Kedua Negara telah menyerahkan
segala putusan kepada ICJ dan keduanya akan menerima segala keputusan oleh
karenanya kedua Negara sepakat untuk ditiadakanya banding setelah keputusan
dikeluarkan.[2] Pasca keputusan ICJ,
Malaysia sebagai Negara yang memenangkan sengketa Sipadan Ligitan melakukan
diplomasi public melalui duta besarnya “Dato’ Mohammad Isa” di Indonesia dan
menyerukan bahwa masyarakat ataupun pemerintah Indonesia diharapkan dapat
menerima keputusan sehingga pembahasan lanjut terkait batas peraiaran dapat dibahas
secepatnya.[3]
kekalahan
Indonesia dalam sengketa Sipadan Ligitan secara tidak langsung telah member
dampak yang positif, pasca sengketa Indonesia semakin aktif dalam melindungi
dan memberdayakan wilayah perbatasan untuk menghindari sengketa yang serupa.
Upaya Indonesia dalam mempertahankan dan memberdayakan pulau pulau terluar adalah
dengan amanat presiden No.112 tahun 2006 untuk melakukan kegiatan Toponim yaitu
memberi nama kepada pulau pulau yang belum terjamah atau dinamai, kegiatan
tersebut menghasilkan 13.466 nama pulau dan telah didepositkan kepada PBB pada
tahun 2012. Upaya lain yang dilakukan Indonesia adalah focus pembangunan
dipulau kecil terluar Indonesia, pulau tersebut berjumlah 12 yang meliputi;
nusa Kambangan, Pulau Sebatik, Miangas, Marore, Marampit, Lingayan, Maratua,
Wetar, Alor, Enggano, Simuk, dan Dubi kecil.[4]
Pengelolaan pulau kecil terluar dilakukan atas dasar perasturan presiden No.78
tahun 2005 pasal 2 point c yang menyatakan tujuan pengelolaan pulau kecil
terluar adalah untuk memberdayakan masyarakat guna peningkatan kesejahteraan.[5]
Selain dampak
positif yang terjadi, dampak negative
yang timbul setelah resolusi konflik yang dilakukan ICJ adalah masalah batas teritorial laut. Malaysia
secara sepihak membuat batas laut territorial 12 mil dan ZEE (Zona Ekonomi
Eksklusif) sepanjang 200 mil sehingga menembus ZEE milik Indonesia. Klaim yang
dilakukan Malaysia dihitung dari pulau sipadan dan ligitan sepanjang 70 mil
yang membuat klaim baru kepemilikan 12 mil laut disekitar pulau karang Ambalat.
Wilayah perairan yang diklaim oleh Malaysia merupakan wilayah laut Indonesia
yang secara resmi telah tercatat di UNCLOS pada tahun 1982, pengelolaan blok
Ambalat juga telah dilakukan oleh Indonesia sejak tahun 1967. Malaysia bahkan
mengambil langkah atas perusahaanya Petronas yang member konsesi pengeboran
minyak untuk perusahaan Inggris- Belanda, yanmg kemudian bloktersebut diberi
nama blok ND6 (Y) dan ND7(Z). sedangkan
Indonesia telah member konsensi pengeboran minyak kepada perusahaan Amerika
Unocal dan ENI dari Italia. Hubungan kedua Negara semakin memanas, selain karena
pengelolaan yang telah dilakukan, batas wilayah laut menjadi sulit
diperbincangklan karena dalam keputusan UNCLOS Malaysia bukan merupakan Negara
kepulauan sehingga penarikan batas laut harus dilakukan dari pulau Kalimantan
bukan sipadan ligitan sedangkan Indonesia yang merupakan Negara kepulauan
memang dapat menarik batas Negara mulai dari pulau terluar, hal yang
menjadilebih sulit adalah peta Malaysia yang dikeluarkan pada tahun 1979
sehingga blok ambalat terhitung secara batas laut Continen.[6]
Hubungan bilateral Indonesia dan Malaysia semakin memanas dengan mengerahkan
kekuatan militer di blok Ambalat oleh kedua Negara.[7]
Masalah blok Ambalat tersebut sampai saat ini belum terselesaikan.
Resolusi konflik
yang dilakukan ICJ sejatinya berhasil dalam menyelesaikan satu konflik, yaitu
sengketa Sipadan dan Ligitan. Resolusi konflik yang dilakukan ICJ saat itu
tidak mampu memberi keputusan terbaik karena masih terdapat celah yang membuat
ruang lingkup masalah tidak terbatas dan justru meluas. Resolusi konflik
terbaik adalah saat konflik yang diselesaikan secara damai dan ruang lingkup
masalahnya menjadi terbatas, artinya konflik harus diselesaikan secara permanen
bukan sementara, resolusi konflik yang baik tidak membuat penyelesaian yang
dilakukan menimbulkan masalah yang berkelanjutan dimasa mendatang atau meluas
sehingga menciptakan masalah lain.[8]
Resolusi konflik yang dilakukan ICJ tidak mampu memprediksi masalah yang terjadi
setelah keputusan dikeluarkan, prediksi masalah yang mungkin terjadi setelah
dikeluarkanya keputusan sangatlah penting untuk membuat ruang lingkup masalah
menjadi terbatas. Saat ICJ memutusklan kepemilikan Sipadan dan Ligitan maka
prediksi yang seharusnya dilakukan adalah masalah penentuan batas wilayah laut,
permasalahan batas wilayah darat dapat menciptakan konflik besar apalagi batas
laut yang sangat sulit didemarkasikan. Jika prediksi tersebut dapat dilakukan
maka batas laut juga dapat sekaligus diputuskan oleh ICJ.
[1]
Marcel Hendrapati, pengaruh putusan mahkamah internasional dalam kasus pulau
sipadan dan ligitan terhadap garis pangkal kepulauan Indonesia, Hasanuddin
University, <http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/7752>, 2011.
[2]
Amr/Apr, sengketa sipadan-ligitan hubungan baik RI-Malaysia lebih penting dari
soal menang kalah, <http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol7095/font-size1-colorff0000bsengketa-sipadanligitanbfontbrhubungan-baik-rimalaysia-lebih-penting-dari-soal-menangkalah>,
16 desember 2002
[3]
Wahyu Dhyatmika, Duta Besar Malaysia minta Indonesia terima keputusan mahkamah
internasional, Tempo.co, <https://m.tempo.co/read/news/2002/12/20/05535601/duta-besar-malaysia-minta-indonesia-terima-keputusan-mahkamah-internasional>,
20 desember 2002.
[4]
Brigitta Sasmaya, Upaya pemerintah Indoensia mempertahankan dan memberdayakan pulau
pulau terluar di Indonesia pasca lepasnya Sipadan dan Ligitan, Fakultas Hukum Universitas
Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2014.
[5]
Mustafa Abubakar, Menata pulau pulau kecil perbatasan, Buku Kompas, Jakarta,
2006.
[6]
Desi Pratiningrum, Prospek hubungan bilateral antara Indonesia dan Malaysia
paska penyelesaian sengketa sipadan ligitan, program studi HI, FISIP,
Universitas Airlangga, 2005.
[7]
Aulia Pratama, dibayangi jet Malaysia Ambalat dicemaskan TNI lepas RI, CNN
Indonesia, <
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150617095259-20-60494/dibayangi-jet-malaysia-ambalat-dicemaskan-tni-lepas-dari-ri/>
17 Juni 2015.
[8]
Surwandono, Sidiq Ahmadi, Resolusi konflik didunia Islam, Graha Ilmu,
Yogyakarta, 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar