Rabu, 13 September 2017

Dampak Keputusan ICJ (International Court of Justice) Terhadap Hubungan Indonesia Dan Malaysia




            Keputusan ICJ (International Court of Justice) atas kepemilikan pulau Sipadan dan Ligitan berdampak pada hubungan kedua Negara dalam persoalan batas Negara.[1] Dampak keputusan tersebut memiliki sisi positif dan negative. Resolusi konflik yang dilakukan ICJ untuk sengketa pulau Sipadan dan Ligitan dapat dikatakan berhasil namun dalam resolusi tersebut terdapat kekurangan yang membuat hubungan Indonesia dan Malaysia menjadi tegang dikonflik yang bersangkutan. Secara tunggal dalam melihat sengketa wilayah Sipadan Ligitan semata maka dapat dikatakan penyelesaian dilakukan dengan damai karena kedua Negara yang bersengketa memang menginginkan keadaan damai. Kedua Negara telah menyerahkan segala putusan kepada ICJ dan keduanya akan menerima segala keputusan oleh karenanya kedua Negara sepakat untuk ditiadakanya banding setelah keputusan dikeluarkan.[2] Pasca keputusan ICJ, Malaysia sebagai Negara yang memenangkan sengketa Sipadan Ligitan melakukan diplomasi public melalui duta besarnya “Dato’ Mohammad Isa” di Indonesia dan menyerukan bahwa masyarakat ataupun pemerintah Indonesia diharapkan dapat menerima keputusan sehingga pembahasan lanjut terkait batas peraiaran dapat dibahas secepatnya.[3]
kekalahan Indonesia dalam sengketa Sipadan Ligitan secara tidak langsung telah member dampak yang positif, pasca sengketa Indonesia semakin aktif dalam melindungi dan memberdayakan wilayah perbatasan untuk menghindari sengketa yang serupa. Upaya Indonesia dalam mempertahankan dan memberdayakan pulau pulau terluar adalah dengan amanat presiden No.112 tahun 2006 untuk melakukan kegiatan Toponim yaitu memberi nama kepada pulau pulau yang belum terjamah atau dinamai, kegiatan tersebut menghasilkan 13.466 nama pulau dan telah didepositkan kepada PBB pada tahun 2012. Upaya lain yang dilakukan Indonesia adalah focus pembangunan dipulau kecil terluar Indonesia, pulau tersebut berjumlah 12 yang meliputi; nusa Kambangan, Pulau Sebatik, Miangas, Marore, Marampit, Lingayan, Maratua, Wetar, Alor, Enggano, Simuk, dan Dubi kecil.[4] Pengelolaan pulau kecil terluar dilakukan atas dasar perasturan presiden No.78 tahun 2005 pasal 2 point c yang menyatakan tujuan pengelolaan pulau kecil terluar adalah untuk memberdayakan masyarakat guna peningkatan kesejahteraan.[5]
Selain dampak positif yang terjadi, dampak negative  yang timbul setelah resolusi konflik yang dilakukan ICJ  adalah masalah batas teritorial laut. Malaysia secara sepihak membuat batas laut territorial 12 mil dan ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) sepanjang 200 mil sehingga menembus ZEE milik Indonesia. Klaim yang dilakukan Malaysia dihitung dari pulau sipadan dan ligitan sepanjang 70 mil yang membuat klaim baru kepemilikan 12 mil laut disekitar pulau karang Ambalat. Wilayah perairan yang diklaim oleh Malaysia merupakan wilayah laut Indonesia yang secara resmi telah tercatat di UNCLOS pada tahun 1982, pengelolaan blok Ambalat juga telah dilakukan oleh Indonesia sejak tahun 1967. Malaysia bahkan mengambil langkah atas perusahaanya Petronas yang member konsesi pengeboran minyak untuk perusahaan Inggris- Belanda, yanmg kemudian bloktersebut diberi nama blok ND6 (Y) dan ND7(Z).  sedangkan Indonesia telah member konsensi pengeboran minyak kepada perusahaan Amerika Unocal dan ENI dari Italia. Hubungan kedua Negara semakin memanas, selain karena pengelolaan yang telah dilakukan, batas wilayah laut menjadi sulit diperbincangklan karena dalam keputusan UNCLOS Malaysia bukan merupakan Negara kepulauan sehingga penarikan batas laut harus dilakukan dari pulau Kalimantan bukan sipadan ligitan sedangkan Indonesia yang merupakan Negara kepulauan memang dapat menarik batas Negara mulai dari pulau terluar, hal yang menjadilebih sulit adalah peta Malaysia yang dikeluarkan pada tahun 1979 sehingga blok ambalat terhitung secara batas laut Continen.[6] Hubungan bilateral Indonesia dan Malaysia semakin memanas dengan mengerahkan kekuatan militer di blok Ambalat oleh kedua Negara.[7] Masalah blok Ambalat tersebut sampai saat ini belum terselesaikan.
Resolusi konflik yang dilakukan ICJ sejatinya berhasil dalam menyelesaikan satu konflik, yaitu sengketa Sipadan dan Ligitan. Resolusi konflik yang dilakukan ICJ saat itu tidak mampu memberi keputusan terbaik karena masih terdapat celah yang membuat ruang lingkup masalah tidak terbatas dan justru meluas. Resolusi konflik terbaik adalah saat konflik yang diselesaikan secara damai dan ruang lingkup masalahnya menjadi terbatas, artinya konflik harus diselesaikan secara permanen bukan sementara, resolusi konflik yang baik tidak membuat penyelesaian yang dilakukan menimbulkan masalah yang berkelanjutan dimasa mendatang atau meluas sehingga menciptakan masalah lain.[8] Resolusi konflik yang dilakukan ICJ tidak mampu memprediksi masalah yang terjadi setelah keputusan dikeluarkan, prediksi masalah yang mungkin terjadi setelah dikeluarkanya keputusan sangatlah penting untuk membuat ruang lingkup masalah menjadi terbatas. Saat ICJ memutusklan kepemilikan Sipadan dan Ligitan maka prediksi yang seharusnya dilakukan adalah masalah penentuan batas wilayah laut, permasalahan batas wilayah darat dapat menciptakan konflik besar apalagi batas laut yang sangat sulit didemarkasikan. Jika prediksi tersebut dapat dilakukan maka batas laut juga dapat sekaligus diputuskan oleh ICJ.


[1] Marcel Hendrapati, pengaruh putusan mahkamah internasional dalam kasus pulau sipadan dan ligitan terhadap garis pangkal kepulauan Indonesia, Hasanuddin University, <http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/7752>, 2011.
[2] Amr/Apr, sengketa sipadan-ligitan hubungan baik RI-Malaysia lebih penting dari soal menang kalah, <http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol7095/font-size1-colorff0000bsengketa-sipadanligitanbfontbrhubungan-baik-rimalaysia-lebih-penting-dari-soal-menangkalah>, 16 desember 2002
[3] Wahyu Dhyatmika, Duta Besar Malaysia minta Indonesia terima keputusan mahkamah internasional, Tempo.co, <https://m.tempo.co/read/news/2002/12/20/05535601/duta-besar-malaysia-minta-indonesia-terima-keputusan-mahkamah-internasional>, 20 desember 2002.
[4] Brigitta Sasmaya, Upaya pemerintah Indoensia mempertahankan dan memberdayakan pulau pulau terluar di Indonesia pasca lepasnya Sipadan dan Ligitan, Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2014.
[5] Mustafa Abubakar, Menata pulau pulau kecil perbatasan, Buku Kompas, Jakarta, 2006.
[6] Desi Pratiningrum, Prospek hubungan bilateral antara Indonesia dan Malaysia paska penyelesaian sengketa sipadan ligitan, program studi HI, FISIP, Universitas Airlangga, 2005.
[7] Aulia Pratama, dibayangi jet Malaysia Ambalat dicemaskan TNI lepas RI, CNN Indonesia, < http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150617095259-20-60494/dibayangi-jet-malaysia-ambalat-dicemaskan-tni-lepas-dari-ri/> 17 Juni 2015.
[8] Surwandono, Sidiq Ahmadi, Resolusi konflik didunia Islam, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2011.

Regional Trade Agreements Sebagai Salah Satu Hambatan Perkembangan Negosiasi Di WTO



REGIONAL TRADE AGREEMENTS SEBAGAI SALAH SATU HAMBATAN PERKEMBANGAN NEGOSIASI DI WORLD TRADE ORGANIZATION

LATAR BELAKANG
WTO (World Trade Organization) adalah organisasi ekonomi global, Sebagai organisasi kerjasama perdagangan yang besar, WTO mengalami banyak kesulitan dalam menentukan kebijakanya, terutama dalam hal membuat kesepakatan, sesuai dengan prinsip dari WTO itu sendiri bahwa dalam pengambilan keputusan dengan konsesus dari semua anggotanya. WTO sulit membuat keputusan karena proses negosiasi yang sangat lama. Sebagai organisasi multilateral dengan anggota yang cukup banyak yaitu 146 negara anggota, (About WTO , 2016 ) WTO telah membuat negara negara anggota mencari alternatif lain dalam menjalankan liberalisasi perdagangan sebagaimana yang diharapkan karena proses negosiasi yang cukup lama. Pembentukan organisasi perdagangan internasional dilakukan oleh negara negara sebagai langkah untuk meningkatkan perdagangan internasional, salah satunya adalah Regional Trade Agreements.
RTAs (Regional Trade Agreements) merupakan kesepakatan antara kelompok negara-negara dalam suatu wilayah yang kemudian terbentuk blok untuk menjalankan liberalisasi perdagangan dengan menghilangkan batasan batasan perdagangan antar negara dikawasan itu sendiri. (Regional Trade Agreement, 2015) RTAs tercipta sebagai reaksi atas organisasi multilateral yang lambat dalam membuat keputusan, selain itu juga sebagai bentuk untuk mendukung liberalsiasi ekonomi, selama ini RTAs tidak menghambat liberalisasi ekonomi namun justru dapat membuat proses lebih cepat karena anggota yang tidak sebanyak organisasi WTO, dalam hal ini RTAs dapat menjadi suatu blok untuk menjalankan liberalisasi multilateral. (Sally, 2004). RTAs tercipta untuk mendukung liberalisasi perdagangan multilateral namun terciptanya RTAs itu sendiri memberi dampak yang kemudian menghambat proses negosiasi dalam WTO.
RUMUSAN MASALAH
Mengapa regionalisasi justru dapat menghalangi perkembangan negosiasi antarnegara dalam WTO?




PEMBAHASAN
A.  RTAs lebih efektif dibanding WTO
WTO (World Trade Organization) beranggotakan begitu banyak negara didunia yang termasuk didalamnya negara negara maju dan berkembang, dalam proses negosiasi antar anggota WTO mengalami kesulitan untuk membuat kebijakan agar menguntungkan semua pihak. Dalam beberapa kasus negara berkembang sering merasa tidak diperhatikan karena power dari negara maju, seperti halnya dalam kesepakatan  pengurangan subsidi pertanian yaitu AOA (Agreement on Agreeculture) yang hasilnya membuat  kelompok negara negara berkembang merasa dirugikan  karena penghasilan negara negara berkembang yang mayoritas adalah pertanian. (Wulandari, 2017) merasa dirugikanya negara negara berkembang membuat kekecewaan terhadap organisasi global WTO. Negara negara anggota di dalam WTO memiliki keadaan yang berbeda beda, sehingga kebijakan yang dibuat belum tentu dapat disetujui atau menguntungkan semua pihak, hal ini karena keanggotaan WTO yang sangat luas.
 Kehadiran RTAs (Regional Trade Agreements)  menjadikan negara negara berkembang memiliki harapan untuk terlibat dalam liberalisasi ekonomi karena dengan anggota yang sedikit dan berada dalam kawasanya, negara negara dalam RTAs dapat membuat kesepakatan yang sesuai dengan keadaan negara negara dikawasanya. Negara negara berkembang yang tergabung dalam RTAs dapat mengasah kemampuanya dalam perekonomian internasional untuk terlibat lebih jauh didalam perekonomian global. RTAs menjadi sangat efektif karena jalan membuat keputusan dan perjanjian antar negara negara di suatu kawasan menjadi lebih mudah. Sebagai contoh perjanjian perdagangan di organisasi regional AFTA (ASEAN Free Trade Area) yang mengurangi hambatan perdagangan dikawasan ASEAN dan kemudian memberi keuntungan bagi negara negara ASEAN karena negara negara yang tertinggal seperti Laos, Myanmar, Kambodja dapat ikut serta dalam perdagangan regional dan memberi dampak positif bagi negaranya karena pengurangan tarif perdagangan regional dalam bidang pertanian justru membuat negara negara kurang berkembang mendapat banyak pasar dan dapat menunjukan kualitasnya, serta meningkatkan produksi. Komitmen negara negara didalam AFTA juga disesuaikan dengan keadaan negara, seperti negara negara kurang berkembang Laos, Burma, Kambodja, vietnam yang akan mengurangi tarif mereka dari 0-5% mulai tahun 2015. Tingkat kerjasama didalam organisasi regional akan terus meningkat untuk saling membantu dalam mengamankan perekonomian regional sebagai akibat dari ketergantungan ekonomi juga, sehingga beberapa negara dalam satu kawasan dapat mentolerir dampak negatif yang terjadi terhadap negaranya demi keuntungan bersama dan kemajuan ekonomi jangka panjang seperti halnya Thailand yang kehilangan pasar berasnya sebesar 0,5% untuk Vietnam. Dalam kesepakatan AFTA, dampak negatif juga terjadi namun dampak dampak negatif tersebut dapat diterima oleh negara negara yang mengalaminya, seperti Thailand yang kehilangan pasar bagi beberapa produknya dikarenakan produknya saat itu tidak dapat bersaing dengan produk produk negara ASEAN lainya, namun keuntungan yang didapat Thailand juga cukup besar dan kehilangan pasar bagi Thailand adalah tantangan untuk meningkatkan kualitas produknya. (AFTA)
Bentuk kerjasama perdagangan dalam suatu kawasan memiliki banyak keuntungan bagi negara negara anggotanya. Salah satu keuntungan besarnya adalah terwujudnya ekonomi kawasan yang maju. Kerjasama yang dilakukan dalam suatu kawasan lebih banyak mempertimbangkan keadaan negara negara anggotanya dan proses negosiasi dalam satu kawasan lebih mudah dilakukan karena dalam satu kawasan memiliki keanggotaan yang mayoritas seprti halnya AFTA yang mayoritas adalah negara negara berkembang. Dibandingkan dengan WTO tentu RTAs dapat lebih diandalkan untuk memajukan perekonomian negara negara anggota.
B.  RTAs dan WTO
Organisasi perdagangan global, WTO dan RTAs memiliki tujuan yang sama untuk memajukan liberalisasi perekonomian internasional. Kekhawatiran yang muncul adalah bahwa implementasi dari kedua organisasi tersebut akan terjadi tumpang tindih kebijakan perdagangan diantara negara negara anggota. Terciptanya RTAs kemudian membantu WTO dalam mengambil ranah yang lebih kecil seperti negara negara yang selama ini didalam WTO tidak memiliki power atau keuntungan yang cukup. Hampir dari setiab negara anggota WTO telah memiliki organisasi perdagangan regional masing masing bahkan RTAs yang diikuti negara negara anggota WTO bisa lebih dari satu RTAs. (Regional trade agreements) Untuk menjaga harmonisasi antara organisasi global dan regional serta menghindari tumpang tindih kebijakan antara kedua organisasi, WTO menerapkan beberapa langkah untuk mengatur RTAs. Pada dasarnya, WTO menerapkan prinsip non diskriminasi, namun untuk RTAs merupakan pengecualian dan diberi wewenang dibawah WTO sesuai dengan peraturan peraturan didalamnya. Untuk menjaga kepentingan WTO atas dampak dari terbentuknya RTAs, sekretariat WTO dimina untuk mengumpulkan informasi terkait RTAs untuk meningkatkan transparansi didalam keanggotaan WTO itu sendiri. (Shadikhodjaev, 2011)
Efek yang sebenarnya terjadi akan adanya RTAs adalah bahwa kerangka kerja perdagangan multilateral menjadi lebih kuat dengan menguatnya blok disetiap regional yang ada dan keterlibatan aktif negara negara dalam aktifitas liberalisasi perdagangan, serta beberapa kerangka kerja regional dapat mengurangi kekurangan yang terjadi didalam organisasi global yaitu WTO. Dalam hal ini, RTAs dapat membantu WTO dalam meningkatkan liberalisasi ekonomi, (benefits of trade liberalisation , 2017) namun dalam beberapa hal tentu RTAs dapat menghambat kinerja WTO, seperti dalam proses negosiasi didalam WTO yang menjadi kian sulit ditemukan kesepakatanya. Regionalisasi menjadikan blok blok yang membangun karakter perekonomian yang berbedaantara regional satu dengan yang lainya.

C.  RTAs menghambat negosiasi di WTO
Proses negosiasi dalam WTO selama ini mengalami berbagai kesulitan karena banyak hal, salah satunya adalah terbentuknya RTAs, ini adalah hal yang sifatnya saling mempengaruhi karena sulitnya negosiasi dalam WTO membuat negara negara anggota membentuk organisasi perdagangan regional (Sally, 2004) namun kembali lagi, bahwa terbentuknya RTAs juga menghambat proses negosiasi dalam WTO. Yang menjadi faktor utamanya adalah bahwa RTAs menjadi organisasi yang lebih efektif dibanding WTO, meski WTO juga mengambil peran dalam mengatur RTAs yang ada. Dengan efektifitas yang dimiliki RTAs, maka negara negara anggota WTO lebih mengutamakan kepentingan didalam regionalnya, proses negosiasi menjadi semakin lama dengan hilangnya kredibilitas WTO dimata negara negara anggota, pasalnya sejak tahun 1995 WTO tidak mampu membuat perjanjian sampai pada tahun 2013 di Bali terbentuk perjanjian baru (World Trade Organization (WTO), 2014). Dibandingkan dengan RTAs yang telah menghasilkan banyak kesepakatan dan perjanjian, tentu negara negara anggota WTO lebih memilih untuk melakukan aktifitas liberalisasi perdagangan melalui RTAs. Semakin jelas dengan melihat tujuan dari terbentuknya RTAs pada negara negara berkembang yang bertujuan melindungi kepentingan negara negara dikawasan dari dominasi negara negara maju sehingga mampu meningkatkan daya saing dengan negara negara diluar kawasan. (Secretariat, 1999) Kemajuan RTAs seakan membentuk suatu blok yang kuat sehingga perlu dipertimbangkan dalam proses negosiasi di WTO.
RTAs membentuk blok blok tersendiri dalam menjalankan liberalisasi perekonomian internasional, dengan tujuan memperkuat potensi ekonomi kawasan dan meningkatkan daya saing serta memproteksi perekonomian kawasan (Muttaqin). Blok-blok tersebut memiliki perbedaan antara satu dengan yang lainya, hal ini menimbulkan kesulitan dalam perundingan di WTO. RTAs memperkuat negara negara anggotanya dalam kegiatan perekonomian dan menambah power di regional, hal inilah yang kemudian dalam negosiasi WTO diwarnai berbagai kepentingan dan blok blok dari regional yang ada. Penulis berasumsi bahwa terciptanya RTAs dapat menghambat negosiasi di WTO dapat dikiaskan dengan sebuah negara demokrasi yang menciptakan banyak lembaga dengan karakter yang berbeda beda sehingga dalam menghasilkan suatu kebijakan pemerintah, akan muncul pro dan kontra yang kuat dari lembaga sesuai kepentinganya. Dalam negosiasi WTO, RTAs secara tidak langsung telah membuat suara dari negara negara anggotanya menjadi searah dan kuat sehingga dalam proses negosiasinya, negara negara anggota akan terus memperjuangkan kepentinganya dengan dukungan negara negara anggota lain dari satu kawasanya.
Sulitnya  negosiasi dalam WTO salah satunya adalah  Doha Development Agenda (DDA) yang sulit disepakati karena perbedaan pendapat antar negara negara anggota di WTO, Uni Eropa dan Amerika Serikat menyarankan kebijakan tersebut, agenda yang menyepakati 20 bidang perdagangan tersebut mengalami kelambatan dalam mencapai kesepakatan karena perbedaan persepektif terutama antara negara maju dan berkembang, disisi lain beberapa negara berkembang telah mengalami perkembangan ekonomi yang kuat sehingga pendapatnya sangat dipertimbangkan, serta negara negara berkembang saat itu telah memiliki pasar bebas regional yang membuat penghilangan subsidi ekspor pertanian yang menjadi salah satu isi dari DDA mengalami perdebatan panjang. (Lester, 2016 )



KESIMPULAN

Proses negosiasi didalam WTO yang sulit dan lambat serta dominasi oleh power dari negara negara maju membuat negara negara anggota WTO menciptakan sendiri organisasi regional atau RTAs (Regional Trade Agreements) yang bertujuan untuk melindungi kepentingan negara negara anggota dalam hal liberalsiasi perdagangan karena proses didalam WTO terdapat politik yang cukup luas sehingga menghambat negara negara berkembang dalam menjalankan liberalisasi perdagangan. Dampak dari terciptanya RTAs itu sendiri kemudian memberi sumbangsih besar dalam aktifitas liberalisasi perdagangan internasional artinya RTAs telah membantu melengkapi kekurangan yang dialami WTO.
Dampak lain yang muncul adalah bahwa proses negosiasi dalam WTO kian sulit akibat adanya penguatan karakter ekonomi oleh kawasan kawasan yang telah membentuk RTAs. Pembentukan RTAs membuat negara negara berkembang menjadi lebih kuat dan memiliki power untuk bernegosiasi di WTO sehingga proses negosiasi tidak berjalan mudah karena perjanjian yang akan disepakati dalam WTO tentu menimbulkan pro dan kontra diantara negara negara anggota karena perbedaan kondisi sebuah negara. Dalam kasus apabila tidak ada RTAs maka negara negara berkembang akan kesulitan dalam melawan kepentingan negara maju karena ketergantungan besar dari negara negara berkembang terhadap negara maju, dengan adanya RTAs negara negara berkembang dalam satu kawasan telah memiliki kekuatan ekonomi serta ketergantungan ekonomi antar negara berkembang sehingga dalam mennghadapi kepentingan negara maju, negara berkembang memliki mental yang cukup, hal ini menyebabkan alotnya negosiasi dalam perjanjian di WTO.







Bibliography

About WTO . (2016 ). Retrieved from WTO : https://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/tif_e/org6_e.htm
AFTA, a. (n.d.). BENEFITS FROM ASEAN FREE TRADE AREA (AFTA) TARIFF CUTS . Retrieved from business-in-asia: http://www.business-in-asia.com/asia_freetrade.html
benefits of trade liberalisation . (2017). Retrieved from OECD: http://www.oecd.org/trade/benefitlib/regionaltradeagreements.htm
Lester, S. (2016 ). Is the Doha Round Over? The WTO’s Negotiating Agenda for 2016 and Beyond. Retrieved from cato institute : https://www.cato.org/publications/free-trade-bulletin/doha-round-over-wtos-negotiating-agenda-2016-beyond
Regional Trade Agreement. (2015). Retrieved from Retrieved from ministry of industry, trade and tourism: http://www.mit.gov.fj/index.php/divisions/trade-division/regional-trade-agreement
Regional trade agreements. (n.d.). Retrieved from World Trade Organization: https://www.wto.org/english/tratop_e/region_e/region_e.htm
Sally, R. (2004). The WTO in Perspectif, The Politics of WTO. . In M. Hocking, Trade politics (p. 112). USA: Routledge.
Secretariat, A. (1999). ASEAN FREE TRADE AREA (AFTA): AN UPDATE. Retrieved from ASEAN : http://asean.org/?static_post=asean-free-trade-area-afta-an-update
World Trade Organization (WTO). (2014). Retrieved from KEMENTERIAN LUAR NEGERI REPUBLIK INDONESIA: http://www.kemlu.go.id/id/kebijakan/kerjasama-multilateral/Pages/World-Trade-Organization-%28WTO%29.aspx
Wulandari, A. (2017). DAMPAK KEBIJAKAN WTO (WORLD TRADE ORGANIZATION) PAKET BALI 2013 TERHADAP PERTANIAN DAN KETAHANAN PANGAN INDONESIA . Retrieved from unpas: http://repository.unpas.ac.id/27904/

Sejarah Konflik Umat Islam, studi kasus: Perang Salib



SEJARAH KONFLIK UMAT ISLAM
STUDI KASUS: PERANG SALIB

Introduction
               Peristiwa perang salib telah menanam suatu benih kebencian dan permusuhan orang-orang kristen terhadap orang-orang islam, yang kemudian terjadilah perang yang dinamakan dengan perang salib. Perang ini dinamakan perang salib dikarenakan pada waktu itu ummat kristen menggunakan simbol salibnya pada bahu, lencana dan panji-panji mereka untuk pemersatu dalam menunjukan bahwa peperangan yang mereka lakukan adalah perang suci.[1]  kebencian yang ditanam oleh orang kristen bertambah setelah dinasti seljuk dapat merebut baitul maqdis pada tahun 471 H dari kekuasaan dinasti fathimiyyaah. Perang salib ini merupakan perang yang terlama dalam sejarah manusia yakninya berlangsung kurang lebih sekitar 2 abad lamanya (1096-1291 M) meskipun perang salib ini telah berakhir namun masih terus membekas dalam benak pihak kristen barat khususnya masyarakat Eropa.[2]

Penyebab konflik
Semenjak dinasti saljuk mengambil alih jerusalem dari tangan dinasti fathimiyyah pada tahun 1077M, orang kristen merasa tidak bebas lagi dalam melaksanakan ibadahnya yang disebabkan karena para penguasa saljuk menetapkan sebuah peraturan-peraturan tertentu yang dianggap mempersulit bagi mereka. Selain itu kekalahan bizantium di manzikart(armenia) pada tahun 1071 M dan jatuhnya asia kecil ke bawah kekuasaan saljuk telah mendorong kaisar konstantinopel, alexius I commnenus, pada tahun 1095 M meminta bantuan kepada paus urbanus II. Dan paus mau memberikan bantuannya kepada bizantium karena adanya perjanjian dari kaisar alexius untuk tunduk di bawah kekuasaan paus di roma dan adanya harapan untuk dapat mempersatukan gereja roma dan yunani.[3]
Pada saat itu juga keadaan kaum muslim secara politik sedang kacau serta pada saat itu juga dunia islam terpecah dalam 3 kekuasaan yakninya, dinasti fathimiyyah di mesir, dinasti abbasiyah di baghdad, dan dinasti ummayah di spanyol( cordova). Situasi tersebut semakin parrah ketika dinasti saljuk di asia kecil sedang mengalami perpecahan, dinasti fatthimuyah di mesir dalam keadaan runtuh, dan kekuasaan islam di spanyol semakin goyah, maka dari itulah kaum kristen mendapatkan dorongan untuk merebut kembali daerah-daerah yang telah dikuasai oleh kaum islam tersebut.[4]
Periodesasi konflik

a.    Masa periode pertama (periode  penaklukan)  
               Gerakan merupakan ekspedisi militer yang sangat terorganisir dan tersusun dengan rapi. Sehingga, mereka bisa berhasil menaklukkan dan menduduki kota suci Palestina (Yerusalem) pada tanggal 7 Juli 1099. Inilah ekspedisi yang menghasilkan kemenangan besar. Selain itu, kekejaman yang dipimpin oleh pasukan  Godfrey ini melakukan pembantaian besar-besaran terhadap umat Islam tanpa membedakan laki-laki dan perempuan, baik anak-anak maupun orang tua. Banjir darah dan pembantaian terhadap kaum muslim mengikuti kemenangan mereka di Kota Suci itu. Taktik para tentara Perang Salib ialah tidak membawa tawanan serta sebab berhasilnya perang salib pertama ini adalah ketidaktahuan para umat baik itu muslim, kristen dan yahudi di yerusalem bahwa mereka datang untuk menyerang. Karena itulah para muslim tidak menyiagakan pasukannya dan memang yang pada waktu itu Yerusalem bukan daerah kekuasaan atau jajahan kekaisaran muslim, serta mereka membantai para penduduk dan pedagang muslim yang sudah menyerah, inilah yang menyebabkan kebencian umat Islam. Seorang pengamat yang merestui tindakan tersebut menulis bahwa para prajurit menunggang kuda mereka dalam darah yang tingginya mencapai tali kekang kuda, dan memang kaum Kristiani Eropa cenderung menutupi kejadian ini. Sebelum mereka menduduki Baitulmakdis, pasukan ini terlebih dahulu merebut Anatalia Selatan, Tarsus Artiolia, Allepo, dan Ar-Ruba, Tripoli, Syam dan Arce.[5]
b.   Masa periode kedua (reaksi umat Islam)
               Pada masa ini, beberapa wilayah kekuasan Islam jatuh ke tangan tentara Salib, sehingga menyebabkan bangkitnya kembali semangat kaum muslimin untuk menghimpun kekuatan besar yang diprioritaskan khusus menghadapi mereka. Di bawah komando sang panglima Imanduddin Zangi, yang merupakan Gubernur Mosul, kaum musilimin serempak menyatukan langkah besar bergerak maju untuk membendung serangan dari pasukan Salib. Dan hasilnya, pada tahun 1144 M atas jerih payah dan semangat juang yang tinggi, tentara muslim berhasil merebut kembali tiga wilayah penting, yaitu Allepo, Hamimah dan Edessa. Hal ini merupakan salah satu kemengan besar tentara muslim.[6]
               Akan tetapi, setelah Imaduddin Zangi (Imaduddin Zanki) wafat pada tahun 1146 M, posisinya digantikan oleh putranya, Nuruddin Zangi. Ia meneruskan cita-cita ayahnya yang ingin membebaskan negara-negara Islam di timur  dari cengkraman kaum Salib. Kota-kota yang berhasil dibebaskan masa putranya ini, antara lain Damaskus, Antiolia dan Mesir pada tahun 1149 M, dan pada tahun 1151 M, kemenangan yang sangat mengagumkan seluruh wilayah Edessa dapat direbut kembali dan dikuasai oleh tentara Islam[7]
               Kejatuhan wilayah Edessa ini, menyebabkan kaum Kristiani mengobarkan Perang Salib kedua yang sesungguhnya. Kali ini, Paus Eugenius III menyerukan perang suci yang disambut sangat baik oleh Raja Perancis bernama Louis VII dan Raja Jerman bernama Condrad II. Kedua raja ini memimpin pasukan tentara Salib dengan rencana untuk merebut wilayah Kristen di Syiria. Akan tetapi, hal demikian sangatlah mudah bagi Nuruddin Zangi, kedua pasukan ini bisa dihalau dan mereka melarikan diri pulang ke negerinya.         
               Pasca wafatnya Nuruddin Zangi pada tahun 1174 M, panglima perang selanjutnya berada dalam kekuasaan Shalahuddin Al-Ayyubi (saladin) yang berhasil mendidrikan Dinasti Ayyubiyah di Mesir pada tahun 1175 M serta berhasil membebaskan Baitulmakdis pada tanggal 2 Oktober 1187. Bahkan, pada tahun 1187 M, peperangan yang di pimpin oleh panglima Shalahuddin Al-Ayyubi ini mengalami kemenangan besar dengan direbutnya kembali wilayah Yerussalem yang sebelumnya dikuasai oleh tentara Kristiani yang mendirikan kerajaan latin selama 88 tahun. Keberhasilan umat Islam ini, sangat menyedihkan dan memukul perasaan tentara Salib. Akhirnya mereka kembali membangkitkan kaumnya untuk mengirim ekspedisi militer besar-besaran dan yang lebih kuat. Mereka menyusun rencana sebaik mungkin untuk menyerang sebagai balasannya. Ekspedisi ini diluncurkan pada tahun 1189 M yang dipimpin oleh raja besar Eropa, seperti Frederick I ( Frederick Barbarossa, Kaisar Jerman), Richard I (The Lion Hearted, Raja Inggris), serta Philip II ( Philip Agustus, Raja Perancis). Ekspedisi ini dilakukan pada tahun 1189 M.[8]
               Ekspedisi perang Salib ini dibagi beberapa divisi, sebagian menempuh jalur jalan darat dan sebagian lagi menempuh jalur laut. Frederick yang memimpin divisi jalur darat ini tewas ketika menyerangi sungai Armenia, dekat kota Ruba (Edessa). Sebagian tentaranya kembali, kecuali beberapa orang yang masih hidup melanjutkan perjalannya. Dua divisi lainnya yang menempuh jalur laut bertemu di Sisilia. Mereka berada di Sisilia hingga musim dingin berlalu. Richard menuju Ciprus dan mendudukinya di sana. Sedangkan Philip langsung ke Arce, dan pasukannya berhadapan dengan pasukan Saladin, sehingga terjadi pertempuran sengit. Namun, dengan pasukan Saladin memilih mundur dan mengambil langkah untuk mempertahankan Mesir. Dalam keadaan demikian, pihak Richard dan pihak Saladin sepakat untuk melakukan genjatan senjata dan membuat perjanjian. Perjanjian ini disebut dengan Shulh al-Ramlah. Inti dari perjanjian damai itu adalah bahwa umat Kristen yang akan berziarah ke Baitulmakdis akan terjamin keamanannya. Begitu juga dengan daerah pesisir utara, Arce dan Jaita berada di bawah kekuasaan tentara Salib.[9]
c.    Masa periode ketiga (perang saudara kecil-kecilan/periode kehancuran)
               Pada periode ini, peperangan disebabkan oleh ambisi politik untuk memperoleh kekuasaan dari sesuatu yang bersifat materialisti dari pada motivasi agama. Dalam periode ini, muncul pahlawan wanita dari kalangan kaum muslimin yang terkenal gagah berani yaitu Syajar Ad-Durr. Ia beerhasil menghancurkan pasukan Raja Louis IX dari Perancis sekaligus menangkap raja tersebut. Pada tahun 1219 M, meleteus kembali peperangan, pada waktu itu tentara Kristen berada di bawah kekuasaan Raja Jerman, Frederick II, mereka berusaha merebut Mesir terlebih dahulu sebelum merebut ke  wilayah Palestina, dengan harapan mereka mendapatkan bantuan dari orang-orang Kristen Qibthi.
               Dalam serangan tersebut, mereka berhasil menduduki Dimyat, Raja Mesir dari Dinasti Ayyubiyah waktu itu, al-Malik al-Kamil, membuat penjanjian dengan Raja Frederick. Isinya antara lain Frederick bersedia melepaskan Dimyat, sementara al-Malik, al-Kamil harus bersedia melepaskan Palestina. Raja Frederick menjamin keamanan kaum muslimin di sana, dan begitu pun Frederick tidak diperbolehkan mengirim bantuan kepada Kristen yang berada di wilayah Syria.
               Dalam perkembangan berikutnya, wilayah Palestina yang tadinya diserahkan kepada Raja Frederick kini dapat direbut kembali oleh kaum muslimin pada tahun 1247 M, yakni pada masa pemerintahan al-Malik al-Shalih, penguasa Mesir pengganti al-Malik, al-Kamil. Ketika Mesir dikuasai oleh dinasti Mamalik, yang menggantikan posisi Daulah Ayyubiyyah, pimpinan perang dipegang oleh Baybars dan Qalawun. Pada masa merekalah Akka dapat direbut kembali oleh kaum muslimin pada tahun 1291 M. Demikianlah Perang Salib yang berkobar di Timur. Perang ini tidak berhenti di Barat, termasuk di wilayah Spanyol, sampai umat Islam habis terkikis dan terusir dari sana[10].
Conclusion
               Perang salib merupakan perang yang dimulai oleh umat kristen barat dalam rangka perebutan kekuasaan wilayah atau ekspansi. Resolusi konflik yang harus dilakukan umat islam pada saat itupun tidak lain adalah perang, karena peperangan memang sudah dimulai oleh bangsa barat saat itu, lantas peperangan tersebut telah menanamkan benih kebencian dimasa itu antar umat beragama meski dari kedua belah pihak mendapat beberapa kekuasaan wilayah, namun umat Islam pada saat itu mengalami kemunduran yang cukup besar dan kerugian yang tinggi. Setidaknya umat islam pada saat itu dapat melawan dan merebut kembali beberapa wilayah yang telah dikuasai oleh umat kristen. Kebenaran sejarah ini pada awalnya tidak terbuka secara detail karena banyak fakta yang disembunyikan namun saat ini perkembangan teknologi membuat konflik ini lebih detail terekspos sehingga dapat menjadi pelajaran bagi kita umat muslim untuk melihat resolusi konflik umat islam saat itu terhadap perang yang cukup mengerikan.
Daftar pustaka

Badri Yatim, 2008. Sejarah Peradapan Islam (Dirasah Islamiah II). Jakarta: PT Raja Grafinda Persada.

Dedi Supriyadi, 2008.  Sejarah Peradaban Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia.

Dr.Ajat Sudrajat, “perang salib dan kebangkitan kembali ekonomi eropa”, leutika, 2009, yogyakarta

Hafizh Dasuki, dkk “perang salib”, ensiklopesi islam, jilid 4 ( jakarta, pt ikhtiar baru van hoeve, 1994)

Maslani dan Ratu Suntiah, 2010.  Sejarah Peradapan Islam. Bandung: CV. Insan Mandiri.

Philip K, hitti, history of the arab, serambi,


[1] Badri Yatim, 2008. Sejarah Peradapan Islam (Dirasah Islamiah II). Jakarta: PT Raja Grafinda Persada. hlm. 76-77
[2] Maslani dan Ratu Suntiah, 2010.  Sejarah Peradapan Islam. Bandung: CV. Insan Mandiri. hlm. 133
[3] Dr.Ajat Sudrajat, “perang salib dan kebangkitan kembali ekonomi eropa”, leutika, 2009, yogyakarta, hlm 51-52

[4] Hafizh Dasuki, dkk “perang salib”, ensiklopesi islam, jilid 4 ( jakarta, pt ikhtiar baru van hoeve, 1994) hlm 240.
[5] Philip K, hitti, history of the arab, serambi, hlm 812
[6] Badri Yatim, 2008. Sejarah Peradapan Islam (Dirasah Islamiah II). Jakarta: PT Raja Grafinda Persada. hlm. 78
[7] Maslani dan Ratu Suntiah, 2010.  Sejarah Peradapan Islam. Bandung: CV. Insan Mandiri. hlm. 136.
[8] Dedi Supriyadi, 2008.  Sejarah Peradaban Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia, hlm. 171-182
[9] Badri Yatim, 2008. Sejarah Peradapan Islam (Dirasah Islamiah II). Jakarta: PT Raja Grafinda Persada. hlm. 78

[10] Badri Yatim, 2008. Sejarah Peradapan Islam (Dirasah Islamiah II). Jakarta: PT Raja Grafinda Persada. hlm. 79

Dampak Keputusan ICJ (International Court of Justice) Terhadap Hubungan Indonesia Dan Malaysia

            Keputusan ICJ (International Court of Justice) atas kepemilikan pulau Sipadan dan Ligitan berdampak pada hubungan kedua N...